BALTIMORE, JUMAT — Penyakit Covid-19 adalah penyakit baru yang belum ada obat untuk mengobatinya atau vaksin untuk mencegahnya. Mengonsumsi obat sembarangan yang belum terbukti secara ilmiah berhasil menyembuhkan Covid-19 justru berbahaya.
”Cara terbaik untuk mengetahui apakah suatu obat efektif menyembuhkan pasien Covid-19 adalah melalui uji klinis berkualitas,” kata Joshua Sharfstein, Wakil Dekan Bloomberg School of Public Health, Johns Hopkins University, Amerika Serikat, seperti dikutip sciencemag, Kamis (26/3/2020). ”Upaya mendistribusikan secara luas obat yang belum terbukti secara ilmiah merupakan kesalahan yang besar dan berbahaya.”
Joshua menyampaikan hal itu menyusul pernyataan Presiden Donald Trump beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa Covid-19 sudah ada obatnya, yaitu klorokuin atau hidroklorokuin. Para ahli di AS mengecam pernyataan Trump itu.
Klaim berlebihan Trump terhadap klorokuin dan hidroklorokuin sebagai obat Covid-19 bisa berdampak serius. Dampaknya bahkan sudah terjadi. ”Salah satu konsekuensi tidak langsungnya adalah pasien radang sendi kekurangan klorokuin akibat masyarakat yang memborong klorokuin,” kata Peter Pitts, mantan komisioner Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS.
Itu sebabnya sejumlah negara mengambil pendekatan yang hati-hati. Spanyol, misalnya, mengumumkan bahwa pasien radang sendi dan lupus akan diprioritaskan mendapat hidroklorokuin ”sampai pemberitahuan berikutnya”. Sementara Menteri Kesehatan Perancis Olivier Veran menyatakan, dua obat itu hanya boleh digunakan pada pasien Covid-19 yang parah.
Masalah lainnya adalah praktik swamedikasi masyarakat yang bisa berakibat fatal. Setelah mendengar klaim klorokuin bisa menyembuhkan penyakit Covid-19 mereka pun membeli dan mengonsumsi obat itu secara mandiri tanpa rekomendasi tenaga medis.
Baca juga: Ikuti Saran Trump di Televisi, Warga AS Tewas akibat Minum Obat Tanpa Resep
Menurut Sunit K Singh, Guru Besar Molekular Imunologi dan Virologi di Institute of Medical Sciences, Banaras Hindu University di Varanasi, India, kepada Forbes Rabu (25/3/2020), dalam situasi wabah berskala pandemi, para ahli terkadang tidak punya waktu yang cepat untuk mengembangkan obat baru sehingga mereka memanfaatkan obat yang sudah ada, mencari obat yang cara kerjanya sesuai dengan cara kerja penyakit yang sedang mewabah.
Baca Berita Korona Terkini di Kompas.id, GRATIS
Harian Kompas berikan BEBAS AKSES untuk seluruh artikel di Kompas.id terkait virus korona.
Namun, ujar Mel Thompson, mantan peneliti di Geelong Center of Emerging Infectious Disease, Deakin Medical School, Victoria, Australia, obat yang dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit lain harus diperlakukan hati-hati. Sebab, bisa jadi obat tersebut tidak efektif lagi jika dipakai sesuai tujuan awalnya.
Baca juga: WHO Uji Kandidat Obat untuk Covid-19
Klorokuin dan turunannya, hidroklorokuin, merupakan obat antimalaria yang sudah ada sejak lama. Hidroklorokuin juga dipakai untuk mengobati penyakit radang sendi dan lupus.
Pernyataan Trump itu didasari atas penelitian awal di Perancis dan China. Dalam sebuah pengujian, China menggunakan klorokuin kepada 134 pasien Covid-19 pada Februari 2020 lalu. Hasilnya efektif mengurangi tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien.
Akan tetapi, hasil studi itu belum dipublikasikan. Pakar kedokteran respirasi China, Zhong Nanshan, yang memimpin gugus tugas Pemerintah China melawan Covid-19, menyatakan bahwa data dari studi itu akan segera disebarluaskan.
Sementara di Perancis, sebuah tim yang dipimpin Didier Raoult dari IHU-Mediterranee Infection, Marseille, pekan lalu, melaporkan bahwa mereka telah melakukan studi penggunaan hidroklorokuin terhadap 36 pasien Covid-19. Hasilnya, jumlah virus dalam tubuh pasien menurun drastis. Ketika dikombinasikan dengan azitromicin, antibiotik untuk melawan infeksi sekunder, hasilnya lebih bagus.
Studi berskala kecil lainnya terhadap 30 pasien di China justru menemukan penggunaan hidroklorokuin pada pasien Covid-19 tidak lebih baik hasilnya dibandingkan perawatan standar.
Klorokuin dan hidroklorokuin juga telah menunjukkan hasil menjanjikan dalam melawan virus SARS-CoV-2 di skala laboratorium seperti studi oleh tim pakar dari China yang dipublikasikan di jurnal Cell Discovery pada 18 Maret 2020.
Akan tetapi, menjanjikan bukan berarti terbukti. Studi-studi skala kecil yang sporadis sejauh ini disebut Direktur Institut Alergi dan Penyakit Infeksi Nasional AS Anthony Fauci sebagai bukti yang ”anekdot”.
Baca juga: Usaha Dunia Mengejar Covid-19
Selain berskala kecil, masih ada studi yang masih dalam tahap uji laboratorium belum diujikan kepada orang sehat ataupun sakit dalam jumlah yang banyak untuk melihat sejauh mana efikasi atau kemanjurannya dan keamanannya.
”Studi yang berskala kecil, bersifat observasional, dan tidak acak, tidak akan memberikan jawaban yang kita harapkan,” ujar Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Menurut para ilmuwan, satu-satunya cara untuk memastikan apakah suatu obat aman dikonsumsi dan memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit tertentu adalah dengan mengujinya dalam uji klinis secara acak melibatkan ribuan relawan pasien yang kadang berasal dari berbagai negara. Meski membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan, inilah standar emas yang harus dilakukan untuk mendapatkan bukti ilmiah yang kuat. (AFP)
"obat" - Google Berita
April 02, 2020 at 08:50AM
https://ift.tt/2R2a4tE
Jangan Gunakan Obat yang Belum Terbukti Manfaatnya - kompas.id
"obat" - Google Berita
https://ift.tt/2ZVlmmO
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jangan Gunakan Obat yang Belum Terbukti Manfaatnya - kompas.id"
Post a Comment